Jakarta 1960-1969:
Sisa-sisa SA-2 TNI-AU (AURI)
Sejarah Awal Kehadiran Pembom Termasyur TNI-AU :
Bila predikat Angkatan Udara terkuat di Asia Tenggara kini di pegang oleh Singapura, maka di era tahun 60-an kekuatan angkatan udara negeri kita boleh dibilang menjadi “singa”, tak cuma di Asia Tenggara, bahkan di kawasan Asia TNI-AU kala itu sangat diperhitungkan. Bahkan Cina maupun Australia belum punya armada pembom strategis bermesin jet. Sampai awal tahun 60-an hanya Amerika yang memiliki pembom semacam(B-58 Hustler), Inggris (V bomber-nya, Vulcan, Victor, serta Valiant) dan Rusia.
Gelar “singa” tentu bukan tanpa alasan, di awal tahun 60-an TNI-AU sudah memiliki arsenal pembom tempur mutakhir (dimasanya-red) Tu-16, yang punya daya jelajah cukup jauh, dan mampu membawa muatan bom dalam jumlah besar. Pembelian Tu-16 AURI didasari, terbatasnya kemampuan B-25, embargo suku cadang dari Amerika, dan untuk memuaskan ambisi politik.
Ketika ide pembelian Tu-16 dikemukakan Salatun saat itu sekretaris Dewan Penerbangan/Sekretaris Gabungan Kepala-kepala Staf kepada Suryadarma tahun 1957, tidak seorangpun tahu. Maklum, TNI tengah sibuk menghadapi PRRI/Permesta. Namun dari pemberontakan itu pula, semua tersentak. AURI tidak punya pembom strategis B-25 yang dikerahkan menghadapi AUREV (AU Permesta), malah merepotkan. Karena daya jelajahnya terbatas, pangkalannya harus digeser, peralatan pendukungnya harus diboyong. Waktu dan tenaga tersita. Sungguh tidak efektif. Celaka lagi, Amerika meng-embargo suku cadangnya. Alhasil, gagasan memiliki Tu-16 semakin terbuka.
Proses pembeliannya memang tidak mulus. Sejak dikemukakan, baru terealisasi 1 Juli 1961, ketika Tu-16 pertama mendarat di Kemayoran. Ketika lobi pembeliannya tersekat dalam ketidakpastian, Cina pernah dilirik agar membantu menjinakkan “beruang merah”. Caranya, Cina diminta menalangi dulu pembeliannya. Namun usaha ini sia-sia, karena neraca perdagangan Cina-Rusia lagi terpuruk. Sebaliknya, “Malah Cina menawarkan Tu-4m Bull-nya,” tutur Salatun. Misi Salatun ke Cina sebenarnya mencari tambahan B-25 Mitchell dan P-51 Mustang.
Jadi, pemilihan Tu-16 memperkuat AURI bukan semata alat diplomasi. Penyebab lain adalah embargo senjata Amerika. Padahal saat bersamaan, AURI sangat membutuhkan suku cadang B-25 dan P-51 untuk menghantam AUREV.
Tahun 1960, Salatun berangkat ke Moskow bersama delegasi pembelian senjata dipimpin Jenderal AH Nasution. Sampai kedatangannya, delegasi belum tahu, apakah Tu-16 sudah termasuk dalam daftar persenjataan yang disetujui Soviet. Perintah BK hanya, cari senjata. Apa yang terjadi. Tu-16 termasuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet. Betapa kagetnya delegasi.
“Karena Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan juga kepada negara sahabat lain,” ujar Menlu Mikoyan. Mulai detik itu, Indonesia menjadi negara ke empat di dunia yang mengoperasikan pembom strategis selain Amerika, Inggris dan Rusia sendiri. Hebat lagi, AURI pernah mengusulkan untuk mengecat bagian bawah Tu-16 dengan Anti Radiation Paint cat khusus anti radiasi bagi pesawat pembom berkemampuan nuklir. “Gertak musuh saja, AURI kan tak punya bom nuklir,” tutur Salatun. Usul tersebut ditolak.
Segera AURI mempersiapkan awaknya. Puluhan kadet dikirim ke Chekoslovakia dan Rusia. Mereka dikenal dengan angkatan Cakra I, II, III, Ciptoning I dan Ciptoning II. Mulai tahun 1961, ke-24 Tu-16 mulai datang bergiliran diterbangkan awak Indonesia maupun Rusia. Pesawat pertama yang mendarat di Kemayoran dikemudikan oleh Komodor Udara (sekarang Marsda TNI Pur Cok Suroso Hurip). Mendapat perhatian terutama dari kalangan intel Amerika.
Kesempatan pertama intel-intel AS melihat Tu-16 dari dekat ini, memberikan kesempatan kepada mereka memperkirakan kapasitas tangki dan daya jelajahnya. Pengintaian terus dilakukan AS sampai saat Tu-16 dipindahkan ke Madiun. U-2 pun mereka libatkan. Wajar, di samping sebagai negara pertama yang mengoperasikan Tu-16 di luar Rusia, kala itu beraneka ragam pesawat blok Timur lainnya berjejer
di Madiun.
Pantai Cilincing
Pelabuhan Tanjung Priok
The Yacht Club at Djakarta di pelabuhan Tanjung Priok
Zandvoort Tempat pemandian di Tanjung Priok yang diucapkan oleh pribumi sebagai "Sampur". Zandvoort juga menjadi nama tempat pemandian di Belanda.
Sampai tahun 1960-an warga Jakarta saat Lebaran ramai-ramai rekreasi ke Zandvoort, dan oleh lidah Betawi disebut juga 'sampur'. Jaraknya tempat ini dari Ancol sekitar 3 km, dan hanya 1 km dari stasiun Kereta Api Tanjung Priok. Ancol yang kini menjadi tempat rekreasi paling banyak menyedot pengunjung, dan kala itu Ancol masih hutan belukar dan menjadi sarang monyet.
Seorang sordadoe Kompeni, Johannes Rach (1720-1783), ketika bertugas di Batavia sempat melukis Ancol. Kala itu banyak warga Belanda membangun vila di Ancol, yang kala itu masih bernama Slingerland. Prajurit itu melukis tuan dan nyonya Belanda serta keluarganya tengah berlibur di Ancol, dan kala itu letaknya Ancol terasa di luar kota Batavia, dan pusat keramaian di Pasar Ikan, sama seperti kalau kita berakhir pekan ke Puncak. Di Ancol, Gubernur Jenderal Valekenier membangun sebuah vila besar dengan taman yang luas dan tentu saja pantainya belum terkena polusi seperti sekarang. Demikikian sekelumit cerita tentang Zandvoort.
Jalan RE Maradinata tahun 1948 posisi pengambilan gambar tepatnya sekarang dibawah jembatan lingkar yang menuju Bandar Kemayoran.
Bung Karno dan Gubernur Jakarta Henk Ngantung meninjau maket Proyek pembangunan Ancol tahun 1964
Awal pembangunan Proyek Ancol dicetuskan oleh Presiden Sukarno tahun 1964
Latar belakang adalah Gedung Stasiun Kereta Api Tanjung Priuk Jakarta tahun 1960
Stasiun Tanjung Priok menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan Batavia yang berada di selatan. Alasan pembangunan ini karena pada masa lalu wilayah Tanjung Priok sebagian besar adalah hutan dan rawa-rawa yang berbahaya, sehingga dibutuhkan sarana transportasi yang aman pada saat itu (kereta api).
stasiun Kota tahun 1969
Pintu Besar Beos
Jembatan Patekoan Jl Perniagaan tahun 1969an
Dari 26 bangunan lama, tinggal lima bangunan yang masih tergolong orisinal, termasuk rumah Mein Siong (73), pewaris rumah besar bergaya China di ujung Jalan Ji Lak Keng yang dikenal sebagai Toko Obat Lay An Tong. Sebagian besar pemiliknya pun memilih pindah dan mengontrakkan rumahnya kepada orang lain untuk tempat usaha.
Salah satu bangunan tua yang masih terjaga keasliannya adalah gedung Toko Obat Lay An Tong. Pewaris rumah saat ini, Mei Song (74) bahwa rumah obat "Lay An Tong" itu era mendiang kakeknya, Yoe Liang Beng. Seluruh bagian bangunannya dari lantai sampai dinding dan atapnya masih belum mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Bukti masa keemasan toko obat ini diwakili oleh besarnya bangunan, panjangnya lahan, dan kukuhnya jeruji besi yang melengkapi kokohnya pintu kayu bangunan tersebut, walau saat ini bangunan tersebut sudah tidak lagi dipergunakan sebagi toko obat.
Kumpulan foto / gambar ini semoga bermanfaat untuk kita dan anak-anak kita, dengan tidak melihat gambaran masa lalu, dikawatirkan kita akan lupa dengan daerah tempat kita dibesarkan dulu dan yang lebih memprihatinkan, kita tidak kenal diri kita sendiri, sehingga dalam hidup mudah terbawa nafsu dunia, semoga dengan melihat foto/gambar ini, kita dapat lebih merasakan ketentraman hati sejenak.
sumber