Ketua Hipmi Erwin Aksa
Fiqih New, JAKARTA - Meski harga gas di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan Jepang, pengusaha nasional mengklaim industri nasional tetap menanggung biaya lebih mahal. Pasalnya, pasokan yang tidak konsisten dan tidak terjamin menyebabkan produksi industri menjadi tidak efisien.
"Memang, industri kita menikmati harga gas yang lebih murah. Tapi, persoalannya di sini adalah tidak ada jaminan suplai yang konsisten,”kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa di Jakarta, Rabu (11/5/2011).
Padahal, menurutnya, industri membutuhkan jaminan pasokan yang konsisten untuk mengoperasikan pabrik. Akibatnya, industri tidak bisa efisien. Sehingga, kalau dimasukkan ke komponen biaya, beban yang harus ditanggung pengusaha sama atau bahkan lebih tinggi dari pengusaha di Jepang atau China. Belum lagi menyangkut nasib rencana ekspansi sejumlah industri yang membutuhkan pasokan bahan baku dan energi. “Ini yang harus dijaga dan diberikan penguatan,”tuturnya.
Erwin menjelaskan, harga gas di Jepang lebih mahal karena biaya logistik yang lebih tinggi. Gas ke Jepang, ujar dia, harus dikonversi dulu menjadi LNG untuk diangkut dengan kapal, lalu dikonversi lagi. Akibatnya, kata dia, harganya lebih tinggi. Di Indonesia, dia menambahkan, biaya logistik lebih rendah, tapi tanpa jaminan suplai, harga jadi tinggi.
Sementara itu, terkait wacana yang digagas oleh Ditjen Migas Kementerian ESDM, yakni agar konsumen melakukan kontrak bisnis langsung dengan produsen, hal itu bukan inti persoalan. Meski, diakui hal itu bisa memangkas rantai distribusi gas.
“Inti persoalannya bukan soal harga atau ada tidaknya trader perantara seperti PGN. PGN tentu saja membutuhkan marjin untuk mengcover biaya investasi infrastruktur, seperti pipa. Yang penting adalah, ketersediaan gas dan komitmen dari pemerintah mengutamakan pemakaian gas untuk industri di dalam negeri. Jangan sampai gas kita ini diekspor besar-besaran,” tegas Erwin.
Selain itu, dia menambahkan, pemerintah harus mendorong investasi untuk peningkatan produksi gas di dalam negeri. “Produsen migas mengeluhkan aturan-aturan yang membuat mereka enggan memacu investasi peningkatan produksi. Mulai dari aturan soal teknis, kebijakan fiskal dan keuangan, hingga terkait bagi hasil. Pemerintah harus berani mengatasi ini. Sebab, tanpa peningkatan produksi, suplai akan terbatas terus,” uajr Erwin.
Produksi gas dalam negeri meningkat 7.962 MMscfd pada 2009, dan menjadi 8.888 MMscfd pada 2010.
Facts Global Energy (FGE) mencatat, dalam kajian terakhirnya menyimpulkan, idealnya harga gas domestik yang lebih tinggi akan membantu untuk mengurangi polemik mengenai harga gas domestik dan ekspor. Laporan itu menyebutkan, disparitas antara harga gas domestik yang rendah dan gas impor menjadi isu krusial di beberapa negara Asian yang baru tumbuh. Di beberapa negara, seperti Indonesia, harga gas umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga gas di Jepang.
Bahkan, dengan crude parity yang biasanya direpresentasikan dengan perbandingan 1/6 atau 1/8. Indonesia merupakan negara dengan disparitas paling tinggi terhadap harga gas Jepang, yang menjadi patokan, yaitu selisih sekitar USD7,5 per juta Btu. Sedangkan di China, hanya sekitar USD2 per juta Btu. Harga gas domestik di Indonesia, antara yang terendah dan tertinggi berselisih sekitar USD8 per juta Btu, dengan sebagian kecil di antaranya gas dijual dengan harga kurang dari USD1 per juta Btu.
"Memang, industri kita menikmati harga gas yang lebih murah. Tapi, persoalannya di sini adalah tidak ada jaminan suplai yang konsisten,”kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa di Jakarta, Rabu (11/5/2011).
Padahal, menurutnya, industri membutuhkan jaminan pasokan yang konsisten untuk mengoperasikan pabrik. Akibatnya, industri tidak bisa efisien. Sehingga, kalau dimasukkan ke komponen biaya, beban yang harus ditanggung pengusaha sama atau bahkan lebih tinggi dari pengusaha di Jepang atau China. Belum lagi menyangkut nasib rencana ekspansi sejumlah industri yang membutuhkan pasokan bahan baku dan energi. “Ini yang harus dijaga dan diberikan penguatan,”tuturnya.
Erwin menjelaskan, harga gas di Jepang lebih mahal karena biaya logistik yang lebih tinggi. Gas ke Jepang, ujar dia, harus dikonversi dulu menjadi LNG untuk diangkut dengan kapal, lalu dikonversi lagi. Akibatnya, kata dia, harganya lebih tinggi. Di Indonesia, dia menambahkan, biaya logistik lebih rendah, tapi tanpa jaminan suplai, harga jadi tinggi.
Sementara itu, terkait wacana yang digagas oleh Ditjen Migas Kementerian ESDM, yakni agar konsumen melakukan kontrak bisnis langsung dengan produsen, hal itu bukan inti persoalan. Meski, diakui hal itu bisa memangkas rantai distribusi gas.
“Inti persoalannya bukan soal harga atau ada tidaknya trader perantara seperti PGN. PGN tentu saja membutuhkan marjin untuk mengcover biaya investasi infrastruktur, seperti pipa. Yang penting adalah, ketersediaan gas dan komitmen dari pemerintah mengutamakan pemakaian gas untuk industri di dalam negeri. Jangan sampai gas kita ini diekspor besar-besaran,” tegas Erwin.
Selain itu, dia menambahkan, pemerintah harus mendorong investasi untuk peningkatan produksi gas di dalam negeri. “Produsen migas mengeluhkan aturan-aturan yang membuat mereka enggan memacu investasi peningkatan produksi. Mulai dari aturan soal teknis, kebijakan fiskal dan keuangan, hingga terkait bagi hasil. Pemerintah harus berani mengatasi ini. Sebab, tanpa peningkatan produksi, suplai akan terbatas terus,” uajr Erwin.
Produksi gas dalam negeri meningkat 7.962 MMscfd pada 2009, dan menjadi 8.888 MMscfd pada 2010.
Facts Global Energy (FGE) mencatat, dalam kajian terakhirnya menyimpulkan, idealnya harga gas domestik yang lebih tinggi akan membantu untuk mengurangi polemik mengenai harga gas domestik dan ekspor. Laporan itu menyebutkan, disparitas antara harga gas domestik yang rendah dan gas impor menjadi isu krusial di beberapa negara Asian yang baru tumbuh. Di beberapa negara, seperti Indonesia, harga gas umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga gas di Jepang.
Bahkan, dengan crude parity yang biasanya direpresentasikan dengan perbandingan 1/6 atau 1/8. Indonesia merupakan negara dengan disparitas paling tinggi terhadap harga gas Jepang, yang menjadi patokan, yaitu selisih sekitar USD7,5 per juta Btu. Sedangkan di China, hanya sekitar USD2 per juta Btu. Harga gas domestik di Indonesia, antara yang terendah dan tertinggi berselisih sekitar USD8 per juta Btu, dengan sebagian kecil di antaranya gas dijual dengan harga kurang dari USD1 per juta Btu.
0 comments:
:ilovekaskus :iloveindonesia :kiss :maho
:najis :nosara :marah :berduka
:malu: :ngakak :repost: :repost2:
:sup2: :cendolbig :batabig :recsel
:takut :ngacir2: :shakehand2: :bingung
:cekpm :cd :hammer :peluk
:toast :hoax: :cystg :dp
:selamat :thumbup :2thumbup :angel
:matabelo :mewek: :request :babyboy:
:babyboy1: :babymaho :babyboy2: :babygirl
:sorry :kr: :travel :nohope
:kimpoi :ngacir: :ultah :salahkamar
:rate5 :cool :bola
by Pakto
:mewek2: :rate-5 :supermaho :4L4Y
:hoax2: :nyimak :hotrit :sungkem
:cektkp :hope :Pertamax :thxmomod
:laper :siul :2malu: :ngintip
:hny :cendolnya
by misterdarvus
:maintenis: :maintenis2: :soccer :devil
:kr2: :sunny
Posting Komentar